Kamis, 23 April 2015

Cinta Yang Salah Arah 2: Anggap Saja Ini Ranjang Pengantin Kami (Versiku Sendiri) Side B

(Cerita sebelumnya) Dan ketika batang itu telah terlahap seluruhnya, Rio menghentikan desakannya sesaat. Hatiku marah. Nafsuku meradang. Kurang ajar kamu Rio.. mengapa kamu tega menyiksaku dengan caramu itu..!!

Dan dengan kejengkelan erotikku, tak ayal bokongku berusaha menjemput batang penis itu agar tidak diam hingga membuatku tersiksa seperti ini. Ternyata memang benar, itu hanya sesaat. Dengan tangan kirinya, Rio meraih rambutku yang telah berantakan terurai. Seperti sais menarik tali kekang kudanya, tangan Rio menarik rambutku ke belakang hingga kepalaku dibuatnya terdongak.

Dia benar-benar menjadikan rambutku seperti tali kekang kuda. Ditarik-tariknya sambil menghantamkan keluar masuk penisnya ke vaginaku.

"Ammpuunn Yoooo.. Penismu ituu.. aacchh..".

Genjotan Rio membuat seluruh ranjangku bergoyang tergoncang-goncang. Kenikmatan yang kuterima membuat tangan-tanganku meraba-raba berusaha mencari pegangan. Dan korbannya adalah seprei ranjangku yang jadi terbongkar tak karuan karena kuremas. Keringatku tak lagi mengenal toleransi. Mengucur deras mengiringi rintihanku yang dipenuhi kepiluan nikmat tak bertara.

Setiap tusukan penis Rio ke kemaluanku selalu menghasilkan siksaan sekaligus kenikmatan yang tak mampu kutanggung sendiri. Rintihan itu seakan meminta, memohon, entah kepada siapa untuk turut berbagi siksa nikmat yang sedang melandaku. Rintihanku itu sepenuhnya melukiskan keadaanku yang dengan sepenuhnya sedang terjajah oleh nafsu dan birahi hewaniahku. Rintihan itu terus menerus mengiringi kocokan penis Rio yang tidak menampakkan tanda-tanda kapan hendak berhenti.

Kemudian, dengan tanpa mencabut penisnya dari vaginaku, Rio meraih dan mengangkat kaki kiriku, membalikkan tubuhku kemudian mendorongnya sedikit lebih ke tengah ranjangku. Dan kaki kiriku tak pernah diturunkannya lagi, kecuali hanya disandarkannya pada bahunya yang membuat selangkanganku menjadi sangat terbuka sehingga vaginaku menjadi sepenuhnya terkuak dan memudahkan Rio meneruskan kocokannya pada lubang vaginaku ini.

Kembali sensasi erotik birahiku dengan penuh nafsu menyerang. Aku hanya bisa mengeluarkan racauan.

"Teruuzzhh.. terruuzzhh Riiooo.. teruuzzhh.. enhhaakk..", sambil ludahku muncrat-muncrat karena kehilangan kendali saraf mulutku dan dengan dibarengi oleh mataku yang melotot tanpa kedip.

Gelombang kenikmatan yang mengalun bertalu-talu itu membuat seluruh tubuhku bergelinjang tak karuan. Tangan-tanganku berusaha menggapai payudaraku dan meremas-remasnya sendiri dalam upaya mengurangi deraan nikmat yang tanpa batas itu. Tanganku terus menerus dan semakin erat meremas kuat-kuat seluruh urat dalam payudaraku itu. Entahlah, kesadaranku rasanya tak tampak lagi, yang tersisa tinggal kenikmatan yang membuat seluruh tubuhku semakin tenggelam dan terperosok ke dalamnya.

Kini Rio menjatuhkan kakiku demikian saja dari bahunya. Nafsunya yang buas dan liar merubuhkan tubuhnya ke atas tubuhku. Dengan genjotan penisnya yang semakin cepat, ditindihnya aku. Bibirnya menjemput bibirku yang langsung kusambut dengan lahapnya. Ludah dan lidahnya kuhisap-hisap dengan penuh kehausan. Tangan Rio yang langsung merangsek tubuhku dengan eratnya membuatnya menekankan bibirnya ke bibirku menjadikan seakan tubuh kami lengket tak terpisahkan. Dan tanganku yang juga memeluk tubuhnya yang bidang itu merasakan betapa keringat Rio mengucur deras.

Sementara penis Rio yang panjang itu makin cepat menghunjamkan batangnya ke vaginaku hingga terasa mentok pada lubang peranakanku. Selama ini belum pernah ada yang mampu menyentuh lubang peranakanku. Panjangnya penis Kyai busuk yang hanya separohnya jelas tak akan pernah menyentuh titik lokasi ini. Sedangkan justru di situlah sebenarnya letak saraf-saraf peka yang mampu membuat perempuan menerima kenikmatannya dari penis seorang lelaki. Aku sungguh-sungguh merasakan sangat beruntung disetubuhi Rio saat ini.

Dan kini yang aku rasakan adalah semacam aliran birahi yang mendesak dari lubang vaginaku untuk muncul ke permukaan. Seperti ingin kencing yang sangat mendesak. Saraf-saraf pada dinding vaginaku yang semakin ketat mencengkeram batang penis Rio menguncup antara melepas dan mencengkeram membuat rasa ingin kencing yang tak lagi mampu kubendung. Anehnya rasa ingin kencing itu justru ingin sekali kugapai. Dan perasaan seperti ini belum pernah aku rasakan.

Apakah ini yang sering disebutkan sebagai orgasme? Apakah memang selama ini aku tidak pernah mendapakan orgasme? Apakah sepanjang hubungan seksku selama ini aku tak perna sekalipun mengalaminya? Aku sendiri tidak tahu, apa sebenarnya orgasme itu.

Tiba-tiba saja, juga dengan tanpa melepas penisnya dari vaginaku, Rio mengangkat kaki kananku dan diseberangkan melewati tubuhnya yang merebah ke kanan tubuhku. Dan kini posisiku adalah miring membelakangi Rio yang dengan tanpa berhenti bisa tetap mempertahankan penisnya pada lubang vaginaku sambil terus menggenjotnya.

Dengan cara memeluk tubuhku dari belakang, tangan Rio langsung meremas payudaraku yang iramanya mengiringi genjotan penisnya pada kemaluanku. Dan rasa ingin kencing itu membuatku vaginaku terasa sedemikian gatalnya hingga dengan sepenuh kekuatan, aku menggoyang-goyangkuan pinggul dan pantatku untuk ikut menjemput penis yang keluar masuk di liang vaginaku.

Rasanya kegatalan ini tak akan mereda kembali. Aku berteriak, mengaduh, merintih dan berteriak kembali. Tempat tidurku bergoncang dengan hebatnya. Sepreiku sudah terlepas entah kemana. Kini aku raih kisi-kisi ranjangku kuat-kuat. Rasa ingin kencing itu tak lagi dapat terhindarkan. Rasa ingin kencing itu sudah sangat mendekati gerbang pertahanan terakhirnya untuk jebol. Rasa merinding dan gemetar langsung melanda seluruh tubuhku.

"Riiooooo.., akuu.., oohh..", dan entah apa lagi yang kuteriakkan. Hingga akhirnya ada yang kurasakan sangat mencekam saraf-saraf vaginaku.

Dengan kedutan-kedutan besar, serta dengan cengkeraman-cengkeraman pada kisi-kisi ranjang yang bisa membuat tangan-tanganku terluka, dengan keringatku yang mengucur membasahi dada, perut, rambutku maupun leherku, kutekan habis-habisan hingga mentok ke pintu peranakanku setiap penis Rio menusuk vaginaku, terus kutekan, terus, hingga kurasakan ada sesuatu yang tumpah dari lubang vaginaku.

Tumpahan-tumpahan dari lubang vaginaku itu rasanya mengalir tak henti-hentinya, sangat nikmat. Aku terkulai sesaat. Sementara itu penis Rio sama sekali belum menunjukkan akan selesai menggenjotku, bahkan semakin mempercepat kocokannya. Aku pasrah saja. Walau sejenak setelah ada yang tumpah dari liang vaginaku tadi segala kegatalanku tadi langsung turun. Yang kurasakan sekarang adalah sedikit rasa pedih. Kocokan penis Rio mungkin membawa serta rambut-rambut di tepi vaginaku sehingga kemungkinan membuat bibir vaginaku terluka. Tetapi tak apalah. Toh sebanding dengan apa yang bisa kuraih saat ini.

Rupanya Rio memang masih jauh dari tujuannya. Penisnya yang besar panjang dan kaku itu, walaupun posisi Rio berada di punggungku, tak ayal pula tetap saja ujungnya mampu menyentuh lubang peranakanku. Bahkan, kini dia raih tubuhku ke atas tubuhnya. Aku menjadi telentang menindih tubuhnya yang terus menancapkan dan menggejot vaginaku. Kakunya itu, pajangnya itu, besarnya itu membuat seakan tak ada celah yang tersisa lagi dalam ruang kemaluanku yang memang menjadi sangat menyempit dan terus menerus menggedor lubang peranakanku.

Rasanya Rio memerlukan bantuanku. Aku berusaha bangkit untuk mencoba membantunya. Mungkin dengan menggoyangkan pinggul dan pantatku akan dapat mengimbangi genjotannya yang semakin menggila. Bahkan kemudian aku bergerak bangun setengah menduduki selangkangannya dengan kedua tanganku masih bertumpu pada dada gempal Rio sehingga penisnya dapat sepenuhnya masuk dalam lahapan vaginaku dan kuikuti genjotannya dengan menaikturunkan pantatku. Payudarahku ikut tergoncang-goncang. Rambutku terhambur ke kanan maupun kiri. Sungguh edan sensasi ini.

Hal yang sama sekali tidak kuperkirakan semula adalah, posisi yang sedang aku lakoni ini justru menjadi bumerang yang berbalik dan mendongkrak gelora birahiku kembali. Rasa gatal pada dinding vaginaku datang kembali. Dorongan nafsu merenggut seluruh saraf-saraf pekaku kembali. Dan rasa lemasku langsung lenyap diganti dengan semangat untuk menggenjot penis Rio agar dapat lebih dalam merasuki vaginaku. Aku kembali kesetanan. Kembali merintih dan mendesah. Kembali mencakar dan meremas bukit-bukit gempal tubuh Rio.

Dan akulah kini yang mempercepat keluar masuknya penis itu ke vaginaku. Batang yang besar, panjang dan kerasnya bukan main itu membuatku bahkan lebih terbakar daripada yang pertama tadi. Aku berteriak sebagai ganti desahanku. Aku berteriak sebagai ganti rintihanku. Aku berteriak menjemput nikmat tak terperikan ini. Dan saat itulah aku merasakannya kembali.

Dari lubuk kedalaman vaginaku, desakan ingin kencing kembali mengejar ke depan gerbang vaginaku. Karena kini aku tahu betapa nikmatnya menumpahkan desakan dari dalam tadi. Genjotan dan naik turun pantatku kubuat semakin menggila. Kulihat sepasang payudaraku terlempar ke atas ke bawah. Aku sudah semakin tidak peduli lagi pada rambutku. Gerbang vaginaku telah sepenuhnya siap menyambut. Dan dengan teriakan yang paling keras, orgasmeku kembali hadir.

Tiba-tiba ada rasa benci dan marah yang menyelinap di celah-celah membanjirnya tumpahan vaginaku. Aku benci dan marah kepada Kyai sialan itu. Aku merasa dipecundangi selama 3 bulan perkawinanku dengannya. Aku merasa di lecehkan. Aku tidak sepenuhnya percaya bahwa Kyai itu tidak mampu memberikan kenikmatan sebagaimana yang kuterima dari Rio hari ini. Aku merasa bahwa Kyai itu tidak bersungguh-sungguh mengusahakan dan memberikan kepuasan orgasme padaku istrinya. Dia cuma memikirkan kepuasannya sendiri. Saat itu pula aku meraung menangis. Aku menangis sejadi-jadinya.

Dan Rio yang belum menyadari keadaanku, yang mungkin juga tidak mau tahu keadaanku, sementara penisnya memang juga masih terus menggenjot vaginaku, kembali meraih tubuhku agar merapat ke tubuhnya. Ketiakku dia serang habis-habisan. Payudaraku diremasnya habis-habisan. Aku tahu. Rio hampir mencapai puncak kenikmatan seksual. Pasti spermanya sudah merasuk ke batangnya untuk dimuncratkan ke dalam rahimku. Tetapi aku merasakan sakit yang amat sangat.

Aku langsung berontak merasakan sakit yang amat sangat pada vaginaku. Genjotan Rio yang tak habis-habisnya rasanya telah mengiris-iris vaginaku. Aku tidak tahan lagi. Aku bangkit dan turun dari ranjangku. Rupanya Rio salah pengertian dengan sikapku ini. Dia berfikir bahwa aku ingin mengubah posisiku. Teriakan kesakitanku tadi dianggapnya sebagai teriakan kenikmatan. Begitu aku turun, dia langsung ikut menyusul turun. Dia berdiri dan pundakku dicekalnya dan kemudian menekannya agar aku berjongkok. Kemudian dia jambak rambutku dan menengadahkan mukaku.

"Ayoo Renn, ayoo Sayank, telaann.. minuumm..", dia meracau.

Dia sodorkan penis besarnya ke mulutku. Aku harus menghisapnya. Sperma yang sudah dekat ke pintu keluarnya akan dia tumpahkan ke mulutku.

Karena rasa sakit pada vaginaku itu, aku sudah tak mampu lagi berfikir jernih. Pilihan ini akan lebih baik daripada vaginaku harus jebol, pikirku. Di samping itu, hati kecilku jadi terobsesi sejak aku dipaksanya untuk mengulum penisnya pada awal dia memasuki kamar tidurku tadi. Hati kecilku ingin merasakan spermanya tumpah di mulutku. Hati kecilku menginginkanku meminum air maninya. Hati kecilku ingin merasakan tenggorokanku dihangati oleh lendir-lendir hangatnya. Hati kecilku menginginkanku meminum sperma dari penis Rio yang telah memberikanku kepuasan orgasme yang belum pernah seumur hidup kudapatkan. Dan hati kecilku juga ingin aku membuktikan bahwa aku bisa memberikan kepuasan yang dahsyat itu pula kepadanya.

Kuraih penisnya dan melumatnya sepuas hatiku. Sepuas nafsuku. Sepuas kehausan nafsuku. Kepalaku mengangguk-angguk memompa penis itu dengan mulutku. Dan akhirnya terdengar suara Rio yang meregang. Desahan dan rintihannya memenuhi ruang sempit kamar pengantin versi ku sendiri. Entah sudah berapa mililiter sperma Rio tumpah ruah ke mulutku. Aku berusaha agar tak ada setetespun yang tercecer. Kini aku terdorong berusaha menelan seluruh air maninya.

Memang dulu pernah aku dipaksa Kyai sialan mantan suamiku, untuk mengulum penisnya dan meminum air maninya. Tetapi waktu itu reaksiku adalah perasaan jijik. Aku langsung muntah-muntah saat lendirnya terasa menyemprot dalam mulutku. Selanjutnya dia tidak lagi pernah memaksa.

Tetapi pada Rio ini, justru aku yang merasa menginginkannya. Dan sama sekali tak ada rasa jijikku. Bahkan aku merasakan kerakusan hewaniah saat tenggorokanku merasakan aliran lendir yang disemprotkan terus menerus milik Rio ini. Rasanya aku menginginkannya lebih banyak lagi, lebih banyak lagi, lebih banyak lagi.

Dan akhirnya redalah semua prahara. Kami sama-sama tergolek kelelahan. Kami telentang telanjang di ranjang. Kamar pengantin versiku sendiri dipenuhi nafas-nafas memburu dari para ahli birahi pengejar nikmat nafsu. Sejenak kami terlena.

Aku sedikit gelagapan saat Rio membangunkanku. Kulihat dia sudah rapi untuk pulang ke rumahnya. Tangannya masih menyempatkan untuk mengelus dan memainkan jari-jarinya ke vaginaku. Aku melenguh manja. Kami berpelukan dan saling memagut sesaat. Sebelum dia pergi aku tanya pada Rio, kenapa dia bisa tiba" datang ke rumah kakaknya. Dia tidak menjawab kecuali menunjukkan senyumnya yang tipis.

Dan aku memang tidak terlalu menginginkan jawabannya. Aku juga meyakini, 90 diantara 100 perempuan, entah itu gadis, istri ataupun janda, apabila dihadapkan pada pemandangan yang sedemikian spektakuler sebagaimana tampilan penis super besar dengan pria macho yang setengah telanjang tadi, pasti akan langsung jatuh terduduk. Kekuatan sihir dari penampilan Rio dan penisnya akan mampu menghempaskan harga diri setiap wanita hingga di lantai yang paling bawah. Dan mereka akan merelakan dirinya untuk dijadikan sekedar obyek pemuasan seperti tadi. Demikian pulakah aku? Ah, persetan dan peduli amat, pokoknya hari ini aku telah berhasil meraih orgasmeku yang pertama kali dalam hidupku.

Persetan, persetaann dengan semuanya..!!

Yang penting aku puas dan bisa merasakan seperti apa rasanya bercinta yang sesungguhnya. Bukan hanya sekedar menjadi budak sex's Kyai keparat itu atw lelaki sialan yg menikahiku hanya untuk satu malam. Dan akhirnya akupun kembali terlelap di ranjang yg kini aku beri nama "Ranjang Pengantin" versiku sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar