Kamis, 23 April 2015

Cinta Yang Salah Arah 2: Anggap Saja Ini Ranjang Pengantin Kami (Versiku Sendiri) Side A

(Cerita sebelumnya) Aku terjaga ketika matahari telah meninggi, dan tak kutemukan Rio disampingku. Hanya secarik kertas yg tergeletak disisi ranjangku:

Dear Eren!! Aku tadi mau membangunkan kamu, tapi sepertinya aku ga tega. Karna aku lihat tidurmu sangat pulas. Maaf aku buru-buru harus ke kantor pagi ini, skali lagi terimakasih untuk semalam.

Aku sayang kamu

Rio

"Aku juga sayang kamu Rio!" Gumamku lirih.

Akhirnya aku putuskan untuk bangun dari ranjang. Dan bergegas menuju ke kamar mandi. Untung mba Irma ngga ada dirumah, bisa habis aku dimarahi jika dia sampai tau kejadian semalam. Atau mungkin aku bisa saja langsung diusir dari rumahnya, karna telah lancang mengganggu rumah tangga adiknya.

Persetan dengan itu semua! Aku cinta dan aku sayang Rio, biarpun aku tau kalau Rio sudah beristri. Dan aku juga siap kalau harus jadi istri keduanya. Toh sama saja kan dengan ketika aku pertama kali menikah dengan Kyai keparat itu dulu? Waktu dengan Kyai busuk itu, aku malah jadi istri ketiganya.

"Dasar Kyai keparat!" Bathinku geram.

*******

Tak ada hal-hal yang istimewa dengan hari ini. Kecuali membayangkan percintaanku semalam bersama Rio. Penampilannya nampak bersih dan apik. Maklumlah orang kantoran. Dia harus tampil "perfect" di depan para relasinya.

Selesai mandi aku putuskan untuk berbenah rumah mba Irma, sebagaimana yang rutin aku lakukan setiap hari. Beberapa saat kemudian aku mendengar pintu depan terbuka terbuka dan langkah seseorang yg memasuki ruang tamu. Karena tanggung oleh pekerjaanku di kamar tidur aku tidak serta merta menyambanginya.

"Ah, mungkin itu mba Irma yg baru pulang dari rumah saudaranya", pikirku.

Saat itu aku sedang membetulkan seprei ranjang bekas percintaanku semalam. Pintu kamar tidurku terbuka dan kebetulan aku sedang dalam posisi bertumpu pada lututku di lantai membelakangi pintu kamar.

Aku mendengar suara langkah yang halus.

"Ren.., Eren..", kudengar suara seseorang dan aku menoleh ke pintu.

Aachh, apa yang nampak berada tepat di belakangku sama sekali berada di luar nalarku. Rio, Rio, benarkah ini, benarkah kamu. Di depanku yang sedang berposisi setengah jongkok di lantai, Rio berdiri tanpa celana panjangnya dengan penisnya yang keluar dari samping celana dalam putihnya dan diacung-acungkannya padaku. Sementara itu kemejanya juga setengah terbuka hingga menampakkan gumpalan dadanya.

Bagai terkena sihir, aku terpana, tak berkutik serasa ikan yang terjerat dalam jaring nelayan, tak berdaya, dikarenakan seluruh bentuk kehendak dan jiwaku langsung terlempar jauh melayang tanpa tahu ke tempat mana akan jatuh tujuannya. Dan sihir itu juga membuat mataku langsung tak mampu berkedip maupun mengelak atau melepas pandanganku pada penis Rio yang hanya berjarak sekitar 2 jengkal dari wajahku. Aku langsung lumpuh, jatuh terduduk dengan punggungku yang tersandar pada ranjang. Aku ditimpa shock hebat hingga kehilangan setengah kesadaranku. Bahkan telingaku juga serasa tuli kecuali hanya mendengar suara jantungku yang dengan kerasnya seakan memukuli dadaku. Tidak sepenuhnya sadar pula ketika tanganku menggapai-gapai tepian ranjang untuk berpegangan agar tubuhku tidak limbung terjatuh.

"Ren..", itu suara bisikan.

Suara Rio. Rio bersuara dalam bisikan. Tetapi karena hanya suara itu, di samping suara jantungku sendiri yang memukuli dada, bisikkan itu terasa seperti suara guruh yang menggulung membahana di telingaku. Aku ingin sekali menyahut suaranya, semacam refleks reaktif dari apa yang membuatku shock hebat ini, tetapi lidahku dijerat kelu. Akupun seketika bisu total.

Dan mataku, oohh mataku, kenapa aku tidak mampu melepaskan pandanganku pada penis itu. Dan leherku, mengapa leherku juga terbawa beku dan tidak mampu untuk memalingkan wajahku dari kemaluanya itu. Dan yang terasa memukau pandangan dan perasaanku itu adalah adanya semacam pesona. Wajah dan mataku terpaku pada pesona erotik yang sensasional dan sangat spektakuler, penis itu, betapa indahnya, betapa sedapnya, betapa nikmatnya. Rasanya aku tak lagi memiliki kesabaran untuk mengulum, mencium dan menjilati penisnya.

Dan kepalanya itu yang bak jamur memerah mengkilat dikarenakan seluruh darah yang telah mendesak di sana. Lubang kencingnya yang nampak berlubang gelap di tengah bibir lubangnya yang begitu ranum. Warna batangnya yang coklat muda kemerahan yang dikelilingi urat-uratnya yang juga demikian indahnya, tampak sangat serasi dan sangat bersih. Tak terbayangkan bahwa penis itu yg semalam tak membuatku terbang ke nirwana.

Penampilan penis itu mencuatkan refleks biologisku. Lidahku bergerak menjilat bibir. Betapa ingin aku melumatinya. Aku menelan liurku sendiri dalam upaya menekan keinginan yang meledak-ledak untuk menelanya.

"Eren Sayank..", kembali bisikan itu terdengar.

Kali ini sedikit memberikan kesadaran bagiku. Aku menyadari bahwa kini Rio memanggilku "Sayank", bukan lagi cuma nama. Aku jadi menyadari bahwa dia ingin lebih dekat kepadaku. Dan memang, penis yang sangat mempesonakan mata dan hatiku itu sepertinya sengaja ku undang untuk bergerak mendekat. Dan dengan sekali bisikan lagi,

"Eren Sayank..", penis itu telah menyentuh wajahku.

Mengusap-usap pipi, hidung dan bibirku. Langsung aroma kelelakian Rio menerpa hidungku, yang kemudian menembus masuk keparu-paruku dan dengan tajamnya menghunjam ke sanubariku. Sihir itu dengan seketika membuatku lumpuh total. Dan aku tak mampu menolak saat penis yang terus diusap-usapkan serta mendesak wajahku dan memaksa bibirku terkuak. Rio terus mendesak-desakkan penisnya itu, terus mendesak. Dan aku, hidungku, bibirku dan lidahku bak anak kecil yang disodori es cream yang super lezat hingga ingin langsung menjilatinya.

Dan kini, dengan disertai desah dan lenguh dari mulutku, bibirku pelan-pelan begerak melumat. Lidahku mulai menjilati jamur itu. Aku, bibirku mulai mengulum daging yang terasa kenyal itu di dalam mulutku. Kukulum, dan kemudian lidahku memindahkan segala rasa pada jamur itu dan membawanya masuk ke mulutku. Penis itu benar-benar telah meruntuhkanku. Penis itu telah meringkusku. Penis itu telah membuatku kehilangan nalar sebagai seorang wanita. Penis itu telah meluluh lantakkan dan melumatkanku. Pesonanya yang dahsyat dalam bentuknya yang indah sensual, ototnya yang membuat batangnya menjadi sangat keras dan berkilat serta kekuatan erotik yang memancar dari penis Rio itu membuatku kini terduduk dengan bibirku yang penuh terjejali dan melumatinya.

"Aacchh.. Eren.. aachh.. Sayank.., kamu cantik sekalii Ren.. bibirmu sangat indah..", desah nikmat Rio demi melihat bibir mungilku yang telah penuh oleh penisnya.

Aku tidak lagi peduli akan suara-suara di sekitarku, yang kupedulikan kini adalah bibirku yang terus melumat-lumat dikarenakan pancaran pesona dahsyat penis Rio yang aroma, besar dan panjangnya mampu membuatku terlempar melayang dalam jerat erotik tanpa batas.

Belum pernah aku menyaksikan pesona penis seindah, sebesar dan sepanjang itu. Aku tidak mampu mengukur seberapa besar ukuran sebenarnya. Yang kucoba mengingatnya hanyalah bahwa ukuran penis Rio yang mungkin 3 atau bahkan 5 kali lebih besar dan lebih panjang daripada penis Kyai busuk itu dulu, hingga pesona erotiknya dapat melambungkan nafsu birahiku hingga jutaan kali nikmatnya. Oohh, ampuni aku Tuhan, aku telah terjajah dan diinjak-injak oleh birahiku sendiri.

Kini aku mulai menyadari bahwa sihir yang menimpaku ini adalah gelombang dahsyat yang menyeret dan menguras seluruh libidoku. Penis Rio telah membangkitkan gelombang dahsyat pada diri pribadiku. Dan mata hatiku, sang nakoda yang lemah ini, tak mampu lagi menanggulanginya kecuali akhirnya pasrah dalam sejuta kenikmatan yang ada. Dan yang terasa kini adalah prahara birahi yang merambat seluruh nurani dan organ-organ tubuhku. Dan saat ada tangan-tangan yang membongkar dan melepas busanaku, aku telah berada dalam penantian yang penuh nafsu.

Dan ketika terasa jari-jari tangan Rio memelintir puting susuku, tak terbayangkan lagi, entah di langit yang ke berapa aku melayang-layang dalam nikmat birahi tak terperikan ini.

Tiba-tiba saja kusadari bahwa tubuhku telah telanjang bulat. Dan tiba-tiba kusadarai bahwa Rio juga telah dalam keadaan telanjang bulat dengan selangkangannya yang mengangkangi wajahku. Dan aku menjadi seperti anak lembu yang menyungkupkan mulutnya ke susu induknya untuk mencari jawaban atas kehausannya yang melanda dengan hebat. Mulutku dan bibirku kusorong-sorongkan ke kantung telur dan pangkal penis Rio untuk meraih kenikmatan yang telah Rio siapkan sepenuhnya.

Tanganku yang kini tak bisa kutolak kemauannya itu, ikut ambil bagian menggenggam penisnya, menaikkannya lekat-lekat ke perutku hingga kini mulutku lebih leluasa mencium dan menjilati pangkal dan bantangan penis itu. Desahan dan rintihan yang terus keluar dari mulut Rio menjadi pendorong semangat mulutku agar lebih ganas menjilatinya. Cekalan jari-jarinya pada urai rambutku menjadikanku lebih liar menyusup-nyusup ke kantung telurnya. Aku kini telah sepenuhnya terbakar nafsu birahiku. Tak ada lagi hambatan dan rambu-rambu yang bisa menghentikan.

Tidak ada protes dan sanggahan saat tangan-tangan kokoh Rio mengangkat dan membimbing tubuhku naik ke ranjang. Dengan pantatku tetap di tepian ranjang dan lutut yang bertumpu di lantai, aku telungkup di kasur tempat tidurku. Dan tanpa ada waktu untuk berfikir, aku rasakan tubuh Rio sudah menindih tubuhku. Dia pagut kudukku, dia pagut leherku, dia pagut tengkukku, bahuku, dia pagut dan jilati seluruh bukit dan dataran punggungku. Dia tinggalkan cupang-cupang berserak bekas-bekas sedotan hisapan bibirnya di seluruh wilayah yang dijarah bibir dan lidahnya. Dia buat kuyup seluruh pori-pori tubuhku. Tangannya menggapai tangan-tanganku yang terentang di kasur, dia remasi jari-jariku untuk bersama-sama menelusuri nikmat. Dan itulah awal tangan-tangan Rio memulai menyusuri lenganku hingga wilayah ketiakku yang terus berlanjut ke buah dadaku.

Remasan-remasan tangannya ke kedua payudaraku memaksaku mendesah dan merintih dengan hebatnya.

"Riooo.. ampuunn.. Yooo.."

Dan kemudian aku langsung terhempas ke awang-awang yang sangat tinggi saat bibir dan lidahnya meluncur dari punggungku, melewati wilayah pinggulku langsung turun lagi untuk mendesak belahan pantatku.

Aku benar-benar tidak mampu mengelak dari kenikmatan tak terperi yang diberikan Rio ini, maafkan aku Tuhan. Baru kali ini ada seseorang yang dengan sukarela menjilati pantatku, lubang duburku, lubang pembuangan kotoranku. Lidah Rio membor lubang pantatku. Bibirnya menyedot cairan yang keluar dari pantatku. Dia tidak jijik dengan semua itu. Dia lahap semua serpih-serpih yang ditemuinya di sekitar pantatku itu. Ciuman dan jilatan Rio pada dubur lubang pembuangan kotoranku itu benar-benar menjadikanku serasa terbang ke awang-awang nikmat tak terperi.

Pada posisi berikutnya aku merasakan pinggul dan pantat Rio mendorong penisnya mendesak-desak pantatku. Aku yakin batang hangat itu berusaha memasuki analku. Dan kegatalan yang datang dan tak mampu kutahan dan kuhindari membuat tanganku melakukan gerak refleks meraih batang penisnya yang panjang itu. Alangkah mantapnya penis Rio dalam genggaman tanganku ini. Panjangnya, besar dan kerasnya. Dan tanganku ini begitu cepatnya memahami kemana maunya arah penis itu.

Di tempat lain, kegalauan telah lama menanti. Vaginaku telah kuyup oleh cairan birahiku sendiri. Vaginaku menghangat dalam lelehan lendir yang tak henti-hentinya mengalir keluar dari lubangnya.

Kegatalan kemaluanku menunggu dengan gelisah tanpa sabar akan arahan tanganku yang kini gemetar, menuntun penis Rio menuju lubang nikmat surgaku. Aku merasakan katup bibir kemaluanku langsung mengencang seakan tidak rela penis Rio menembusnya. Aku merasakan kegatalan pada tepi-tepi klitorisku yang terus mengeras tegang dan ketat menahan tusukan penis Rio. Tetapi itu hanyalah ironi dari keinginan yang meledak-ledak dalam bentuk penolakan "jangan - tidak" yang dibarengi gelinjang-gelinjang nafsu birahi dari seluruh tubuhku.

Dan pada akhirnya semuanya tak ada yang mampu menghadang. Penis Rio dengan jamur dalam bulatan yang besar dan tumpul itu secara pelan dan pasti telah merangsek maju, menggedor-gedor gerbang vaginaku secara pasti dan tanpa kenal menyerah. Aku merasakan mili demi mili bagaimana penis itu menerobos bibir dan kemudian dinding awal menuju lubang vaginaku. Aku merasakan saraf-sarafku yang karena kegatalan nikmatnya mencengkeram batang penis Rio yang semakin melesak ke dalam lubang kemaluanku. Aku mendengarkan dan merasakan bagaimana lenguh dan desah Rio karena penisnya merasakan nikmatnya lubang sempitku ini.

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar